Oleh: Siti Rokayah
Mahasiswa Stisipol Raja Haji Tanjungpinang Program Studi Ilmu Administrasi Publik
Investigasipos.com l Setelah disahkannya Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI menjadi undang-undang (UU). Masih Banyak masyarakat yang menolak disahkannya RUU ini Menjadi undang-undang (UU).
Pasalnya RKUHP banyak memuat pasal kontroversial di tengah tingginya gelombang Politik. Meski pun begitu, DPR menilai banyaknya manfaat yang bisa diperoleh dengan disahkanya RUU terbaru ini untuk menjawab masalah hukum yang ada saat ini, efisiensi atau hanya sekedar kontroversi.
Menurut saya, efektif atau tidaknya perubahan bisa dirasakan dampaknya dalam jangka panjang, RKUHP jadi produk perundang-undangan yang memakan waktu cukup lama, baik dalam penyusunan maupun dalam pembahasan dan pengesahan.
Selain itu, RUU ini juga menuai banyak penolakan sama seperti saat pemerintah dan DPR membahas dan akan mengesahkan revisi UU KPK dan UU Cipta Kerja Pemerintah dan DPR tetap mengesahkan RKUHP meski gelombang penolakan masih terjadi di berbagai pelosok negeri.
Kesannya DPR dan pemerintah mengabaikan kritik, masukan dan keberatan dari sejumlah kalangan baik dari organisasi masyarakat dan mahasiswa yang telah beberapa kali menyuarakan penolakan disahkannya RKUHP menjadi Undang-Undang hukum terbaru menggantikan KUHP Zaman Kolonial Belanda.
Pada Kamis, 1 Desember 2022 lalu berdasarkan sumber yang didapat, Aliansi Nasional Reformasi KUHP meluncurkan panduan bertajuk “RKUHP: Panduan Mudah #TibaTibaDiPENJARA” sebagai bentuk penolakan terhadap 48 pasal yang dinilai bermasalah dalam draft RKUHP Karena, RKUHP masih memuat banyak pasal yang dinilai kontroversial.
Lantas, bagaimana nasib Rakyat yang terkena dampaknya? Hal inilah yang saya sebutkan dari landasan disahkannya RKUHP menjadi KUHP. Akibat dilarangnya kebebasan berekspresi dan demokrasi unjuk rasa bagi masyarakat dari aksi demonstrasi sehingga memicu spekulasi polemik menuai kontroversi ini.
Kemudian terjadilah unjuk rasa yang tidak hanya di Jakarta, melainkan juga di berbagai kota di seluruh indonesia. Namun sayangnya pemerintah melalui DPR tetap mengesahkan Rancangannya menjadi undang-undang. Dalam draf RKUHP versi 30 November 2022, Pasal 256 menyebutkan ,
“Setiap orang yang tanpa pemberitahuan terlebih dahulu kepada yang berwenang mengadakan pawai, unjuk rasa, atau demonstrasi di jalan umum atau tempat umum yang mengakibatkan terganggunya kepentingan umum, menimbulkan keonaran, atau huru-hara dalam masyarakat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori II”.
Delik pasal 256 bukan untuk pihak yang menggelar unjuk rasa, melainkan delik terganggunya ketertiban umum, keonaran, atau huru-hara.Walaupun pasal ini dimaksudkan agar tiap unjuk rasa digelar dengan koordinasi bersama pihak aparat agar tidak mengganggu ketertiban umum, jalannya lalu lintas, hingga kepentingan pihak lain.
Pasal ini harusnya jangan terlalu mengekang masyarakat dari potensi hukum pidana yang berlaku tidak etis rasanya menghukum pidanakan masyarakat yang sedang memperjuangkan keadilannya, dimanakah letak keadilan jika unjuk rasa saja ada hukum yang menghalanginya.
Ada juga diipasal lainnya yang terkait dengan living law atau hukum yang hidup di masyarakat. Pasal ini dinilai bermasalah karena membuka celah penyalahgunaan hukum adat. Soal pasal hukuman mati dan penyebaran paham yang tak sesuai Pancasila serta pasal soal kohabitasi atau hidup bersama di luar perkawinan. Pasal ini berpotensi memicu persekusi dan pelanggaran ruang privat.
Pasal Kontroversi lainnya Pasal 605 tentang tindak pidana korupsi, pasal ini dinilai memberikan keuntungan kepada koruptor sebab hukuman koruptor diipangkas dan turunnya denda tindak pidana korupsi, “Apakah Korupsi Bukan Lagi “Extraordinary Crime”? Dalam KUHP anyar, ketentuan tentang korupsi tertuang di dalam Pasal 603-606 KUHP.
Pada Pasal 603 misalnya, pelaku tindak pidana korupsi dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat dua tahun dan paling lama 20 tahun. Dalam KUHP, pelaku tindak pidana korupsi disebut sebagai orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Padahal, di dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), pelaku kejahatan yang sama dihukum minimal empat tahun penjara. Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, mengatakan, “korupsi tetap menjadi kejahatan luar biasa meskipun ada KUHP yang baru disahkan DPR pekan ini.
Pasalnya, KUHP tidak mencabut hukum tindak pidana yang bersifat khusus, seperti Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), ataupun tindak pidana karena menerima suap. KUHP baru, tidak menyebutkan secara tertulis mengenai pencabutan UU lain yang bersifat khusus tersebut.
Tetap korupsi itu sebagai kejahatan luar biasa. Extraordinary karena KUHP tidak mencabut UU KPK. Kecuali di dalam UU KUHP ada ditulis dicabut UU KPK nomor sekian, atau mencabut UU Korupsi pasal sekian, harus ada secara dalam dunia hukum, terdapat istilah hukum yang spesial mengalahkan hukum yang umum (lex specialis derogat legi generali).’’
Adapun hukum yang khusus adalah UU yang secara khusus mengatur tindak pidana tersebut, meliputi tindak pidana korupsi, tindak pidana pencucian uang, dan tindak pidana kejahatan lain. Dengan demikian, UU yang mengatur tentang korupsi tetap berlaku sebagai lex specialis atau hukum yang khusus, dan mengalahkan hukum yang umum, yakni KUHP.
Pada akhirnya, KUHP baru ini secara umum merupakan suatu prestasi karena menggantikan KUHP peninggalan kolonialisme yang sudah berlaku puluhan tahun sejak Indonesia merdeka. Namun, bukan berarti dalam KUHP tidak ada pasal yang merugikan masyarakat. Oleh karena itu, dalam tiga tahun mendatang selama masa transisi, sangat mungkin akan banyak pengujian terhadap KUHP.
Secara substansi juga masih banyak pasal-pasal kontroversi yang dinilai bisa mengebiri demokrasi, mengancam kebebasan berekspresi serta mengancam Hak Asasi Manusia itu sendiri (rakyat). Salah satunya pasal 218 yang mengatur soal pasal penghinaan terhadap presiden atau wakil presiden. Juga pasal penghinaan terhadap pemerintah dan lembaga Negara dianggap dapat membungkam rakyat.
Pasal-pasal ini dinilai rentan digunakan untuk menyerang pihak-pihak yang berseberangan dengan kekuasaaan. Ancaman denda dan penjara bagi peserta unjuk rasa juga dianggap dapat membuat kebebasan berpendapat menjadi terhambat dan tidak bernorma Keadilan. Proses pembahasan dan rencana pengesahan RKUHP mendapat perlawanan dan penolakan.
Ribuan orang dari beragam kalangan turun ke jalan guna menentang rencana pengesahan. Hal ini terjadi karena draft revisi KUHP ini dinilai mengancam kebebasan berekspresi.
Selain itu juga banyak pasal-pasal yang dinilai tidak sesuai dengan iklim demokrasi di negeri ini. Pada September 2019, Presiden Jokowi akhirnya meminta agar DPR menunda pengesahan RKUHP.
Jokowi juga memerintahkan agar pasal-pasal yang bermasalah ditinjau kembali. Anggota DPR Komisi Hukum Fraksi Nasdem menjelaskan, ada masa tunggu selama 3 tahun sebelum RKUHP berlaku. Menurut dia, masa jeda ini bisa dimanfaatkan untuk mensosialisasikan pasal-pasal RKUHP terhadap aparat penegak hukum untuk menghindari kekhawatiran kelompok masyarakat sipil soal pasal ini.
Problemnya di implementasi, bukan substansi materi. Implementasinya bisa menimbulkan kekhawatiran berdasarkan pengalaman kita selama ini. Nah yang perlu kita perbaiki bagaimana implementasi ini dilakukan dengan pemahaman yang benar. KHUP yang berkali-kali memicu kontroversi ini sudah disahkan. Namun, secara umum tidak ada perubahan yang berarti terkait substansi.
Gelombang penolakan pasti akan kembali terjadi. Namun kali ini pemerintah dan DPR memilih ‘tutup mata dan telinga’. Menurut saya, kita semua masyarakat sepakat bahwa KUHP warisan Belanda memang sudah harus dikoreksi dan diperbaiki lagi itu memang hal yang harus dilakukan. Agar regulasi yang mengatur soal tindak pidana relevan dengan kondisi kekinian. Juga agar sebagai bangsa kita memiliki kitab undang-undang hukum pidana ‘karya’ sendiri.
Namun Salahnya, seharusnya pemerintah dan DPR lebih memperhatikan dan mendengarkan berbagai kritik dan masukan dari masyarakat yang akan merasakan dampaknya. Karena, keterlibatan masyarakat untuk memberikan saran atau masukan dalam proses penyusunan undang-undang adalah sebuah perpaduan yang komplit, niscaya 80% dari masyarakat yang berdemokrasi pasti menyetujui dan akan menerima rancangan tersebut jika melibatkan masyarakat dalam penyusunanya karena sudah diatur dan dijamin undang-undang.
Bukan sebaliknya, kritik dan masukan diabaikan, lalu bagi masyarakat yang tak sepakat disuruh untuk mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi. Sementara kita semua paham institusi penegak konsitusi ini tak lagi ‘suci’ sejak DPR RI merasa bisa memecat dan mengangkat hakim konstitusi seenaknya sendiri. Akankah setelah disahkannya gelombang penolakan KUHP baru akan terus dilakukan? Lalu, apakah KUHP baru ini akan lebih baik dari KUHP peninggalan Belanda? Semoga saja KUHP yang baru saja disahkan ini sudah di kaji sematang mungkin agar bisa menjadi ranah Hukum Negara yang kuat di masa yang mendatang.